Dua bulan sudah pelatihanku selesai ditutup, bersamaan dengan ditutupnya pelatihan yang diikuti Ani. Ah, tidak usah kuceritakan bagaimana serunya pelatihan kami, kawan. Kalian pasti sudah bisa mengira-ngira apa yang terjadi selanjutnya di kamar 221 yang penuh kenangan itu. Ani memindahkan semua barangnya di kamarku, dengan alasan kepada teman sekamarnya bahwa suaminya datang ikut menginap. Jadilah apa yang terjadi, dan terjadilah hal-hal yang kami inginkan. Dan kini dua bulan sudah kenangan itu berlalu.
Kata orang, cinta dan nafsu adalah dua variable yang sangat berbeda jauh. Dalam cinta ada nafsu, namun kau tidak bisa menemukan cinta di dalam nafsu, begitu katanya. Cinta orientasinya adalah ingin membahagiakan, sedangkan nafsu orentasinya adalah ingin memiliki. Lantas, berada di manakah posisiku ketika orientasiku adalah ingin memuaskan iparku? Mungkin kalian bisa mengecapku sebagai orang yang maruk, maniak seks, rakus, atau apalah, yang pasti jatah yang kuberikan kepada Arni, istriku, tidak pernah berkurang baik kuantitas maupun kualitasnya.
Kini setelah dua bulan pelatihan, aku menjadi semakin terobsesi pada Kak Umi, ataupun adik iparku Ima yang baru menikah. Entah bagaimana mereka berada di bawahku dan menikmati setiap perbuatanku kepada mereka. Aku tidak sabar ingin meguji, apakah kebolehanku dalam membuat Ani terkapar berlumur cairannya juga bisa terbukti untuk mereka. Setidaknya Ani dan Arni telah merasakan bagaimana keperkasaanku. Tetapi entah kapan kesempatan itu datang, karena aku sibuk sekali menghadapi audit di instansiku.
Drrrttt…..
Lamunanku buyar. Ponselku bergetar karena ada pesan BBM masuk. Rupanya Ping dari kak Umi. Wah, tiba-tiba ada yang mengeras di bawah sana.
Iya, Kak. Ada apa?
Printermu jadi, Kang? Printer di rumah rusak
Entah kenapa senyumku mengembang sendiri. Kini aku tahun targetku selanjutnya. Terima kasih, Pak Haryo. Sepertinya aku telah mengetahui siapa korbanku selanjutnya. Saatnya membuktikan kebenaran ceritamu.
Kenapa bisa ada Pak Haryo? Ceritanya
begini, ketika kami pelatihan, aku berkenalan dengan salah seorang peserta
diklat dari luar pulau namanya Pak Haryo, sekitar 50 tahun-an. Dia adalah
seorang kepala staf di kantornya. Kami ditempatkan satu team selama diklat
hingga kami banya terlibat diskusi ringan hingga berat. Mulai seputar tugas
kelompok, hingga kebijakan-kebijakan pemerintah. Pernah suatu ketika dalam
diklat hari keempat kami mengerjakan tugas hingga jam 11.30 malam. Entah sudah
berapa kali Ani mengirimkan chat yang menggoda. Pak Haryo yang mengira istriku
sedang rindu langsung mengalihkan topic diskusinya, hingga kami mulai terlibat
diskusi tentang kehidupan ranjang.
Dari sinilah aku mengetahui kalau ternyata pak Haryo ini adalah seorang
petualang sex. Setiap kali dia melakukan tugas perjalanan dinas, pasti dia pernah
menumpahkan spermanya di atas tubuh wanita. Wow. Aku kagum dan takjub padanya.
Dalam diklat ini saja, dia telah pernah meniduri pemateri pusat yang sedang
mengawasi pekerjaan kami. Setelah ku tanyakan apa rahasianya, ternyata dia
pernah membeli obat perangsang ketika dia kunjungan kerja ke Jepang, dan tetap
berlangganan hingga kini.
Setelah melalui bujukan dan alasan yang didrmatisir, akhirnya Pak Haryo
bersedia ketika aku memesan obat itu padanya. Seminggu setelah pelatihan aku
mendapatkan paket di kantorku, dan benar saja, isinya tiga buah botol ukuran
10ml cairan perangsang, entah apa mereknya karena bahasa Jepang semua.
“Hati-hati…cukup setetes saja, maksimal dua tetes, atau kamu bakalan
kewalahan.” begitu bunyi WA pak Haryo ketika ku konfirmasi pengirimannya.
Jadi kok, Kak. Memangnya mau make sekarang?
Iya. Si Arni ada di rumah?
Ada.
[QUOTE]OK. Sip.[/QUOTE]
Ku simpan ponselku dan kembali menekuni rutinitasku. Entah mengapa aku jadi
tidak sabar ingin segera pulang ke rumah, tetapi tentu saja tidak bisa. Aku
mungkin jahat dalam bidang perkelaminan, tetapi maaf, kawan. Aku sangat anti
korupsi, termasuk korupsi waktu. Itulah sebabnya aku biasa menjadi pegawai yang
paling cepat tiba di kantor dan paling telat pulang. Ketika banyak teman di
bidangku sudah membeli mobil, aku justru tidak bisa menerima tunjangan yang aku
rasa tidak pernah kulakukan pekerjaannya. Maaf, kawan. Aku tidak sok suci,
tetapi memang inilah aku.
Drrrrtttt……Drrrtttt…..
Kali ini panggilan masuk dari kak Umi.
“Halo, kak?” tanyaku.
“Kang….Arni gak ada di rumah, katanya ada di rumahnya tante Has.” Jawab kak
Umi. Seperti biasa, suaranya dibuat se dramatis mungkin. Kakak ipar tertuaku
ini adalah orang yang paling manja bersaudara. Dialah yang paling cepat sedih
dan paling sensi bila ada sesuatu. Bila mereka berempat berkumpul, justru kak
Umi lah yang sering dikira anak bungsu.
“Aduh…gimana, nih…? Ya udah. Aku telpon Arni dulu, ya?” kataku.
“Iya….”
Ku tutup ponselku lalu kuhubungi istriku.
“Halo, Kang?”
“Sayang, Kamu di mana?” tanyaku.
“Kan aku di rumahnya tante Has. Dia kan mau akikahan besok. Mama juga udah ada
di sini”
Ah, aku lupa.
“Kak Umi ada di rumah, sekarang. Kamu masih lama?” tanyaku.
“Masih dong, sayang. Ini pekerjaan banyak banget karena mau akikahan. Tante Has
mau ngundang banyak orang”
“Ya udah….Kamu jangan capek ya, sayang? Gak usah maksain kerja” himbauku.
“Iya…kamu juga ya”
“OK. Udah ya? I Love U” kataku. I Love U memang telah menjadi hal yang wajib
dalam hubungan kami. Entah berapa puluh kali ku ucapkan kalimat itu dalam satu
hari sejak dari hari pertama kami menikah.
“Iya…..aku juga. Malu jawabnya, banyak orang hehehe……”
Ku tutup ponselku dan ku BBM Kak Umi.
Emang Penting bangwt, Ya, Kak?
Penting banget, lah. Harusnya tadi ngeprint di kantor tetapi malah lupa.
Kak Umi bisa nungguin? 20 menit lagi aku pulang.
Ya udah. Aku balik dulu ke rumah, ya? Ntar aku datang lagi.
OK sip
Pukul 17.03 aku bergegas meniggalkan
kantor bersama rekan-rekan yang lain. Ku putuskan untuk menjemput istriku di
rumah tante Has, tetapi justru dia minta izin menginap dengan alasan kerepotan
kalau harus pulang. Ku iyakan saja izinnya. Setelah beberapa saat akupun pulang
ke rumah. Selesai mandi, istriku BBM katanya kak Umi mau datang habis Magrib.
Ku BBM kak Umi untuk memastikan.
Ping! Ku ping dulu Kak Umi.
Ya?
Kakak jadi ke sini?
Besok aja deh, aku takut.
Hadeh……Kakak iparku yang satu ini, mskipun dia yang tertua tapi dia yang paling penakut di antara saudaranya.
Kan ada Papanya Liza bisa nganter.
Kan udah dua hari Papanya Liza di luar kota.
Lha. Trus anak-anak?
Di rumah tante Has sama mama. Aku juga mau ke sana tapi takut, ehehehe
Gini aja. Aku jemput kakak ke sini ngeprint, trus abis itu barengan kita ke rumah tante Has. Soalnya besok aku ada rapat penting. Jadi kalo mau ngeprint ya malam ini aja.
Iya, deh. Boleh
Aku girang. Ku siapkan dulu es teh di dalam botol lalu ku teteskan obat itu dua tetes dan ku simpan di rak pintu kulkas. Aku tau persis kak Umi setiap datang dirumahku pasti yang pertama dikunjungi adalah kulkas nyari apa saja yang bisa dimasukkan ke dalam mulut. Seringai jahatku mengembang membayangkan entah apa yang akan terjadi nanti. Ku keluarkan motorku dan segera meluncur ke rumahnya yang berjarak sekitar 1 km dari rumahku.
Kak Umi tampak cantik mengenakan
jilbab hitam panjang sampai lengan, dipadu dengan rok jeans biru, serta kaos
merah lengan panjang memberi kesan yang jauh lebih muda dari umurnya yang
sekarang. Dia tampak lebih seperti seperti mahasiswi tahun pertama. Sebuah tas ransel
dan tas laptop tampak telah dipersiapkan sebelum kedatanganku. Dia segera
menghampiriku begitu melihatku memarkirkan motorku di depan rumah mewahnya.
Tanpa banyak basa-basi, kami pun segera menuju ke rumahku.
Azan magrib menyambut kami setiba di rumahku. Aku langsung mempersilakan kak
Umi masuk rumah. Dia duduk di sofa tamu, sedangkan aku segera bersiap-siap ke
tempat ibadah, tetapi penyakit kak Umi malah kumat.
“Kang, mau ke mana?” Tanya dia.
“Mau ke pasar, kak. Ya mau ke tempat ibadah donk” jawabku dengan candaan yang
garing.
“Aku takut…..” rengeknya. Ya elah, ini nih. Penyakit kakak ipar tertuaku.
Paling penakut dan paling manja bersaudara. Paling gampang merajuk dan paling
gampang mewek bila ada masalah. Jika keempat istriku dan ketiga saudaranya ini
disandingkan, tentu banyak orang yang menyangka kalau kak Umi adalah adik
termuda.
“Hehehe…..kaya’ anak kecil aja. Santai aja kali, kak” jawabku. Mukanya
merengut.
“Yang namanya takut gak bisa direncanain, atuh, Akang”
“Iya….aku ibadah di sini aja, deh. Kak Umi libur?”
“Nggak. Makanya kita ibadahnya sama-sama aja”
“Baiklah kakak iparku yang cerewet”
“Ngekk… ya udah. Aku mau bersih-bersih. Mukena Arni mana”
“Iyee. Ini lagi di siapin”
Kak Umi bangkit menuju ke ruang belakang sedangkan aku ke kamar mempersiapkan
segala keperluan ibadah kami. Tetapi dasar memang sudah kebiasaan, ku
dengarsuara pintu kulkas yang terbuka. Sudah menjadi sebuah ritual tersendiri,
setiap berkunjung ke rumahku, kak Umi pasti suka membuka pintu kulkas dan
mencari segala apa yang bisa dimasukkan ke dalam perut. Senyumku kembali
mengembang, misi tercapai.
“Wah….ada minuman dingin, nih.” Ku dengar suaranya dari ruang belakang. Tak
lama kemudian ku dengar suara “Ahhhh” yang berarti dia baru saja memuaskan
dahaganya. Yes! Saatnya menanti reaksi perangsang yang aku beli dengan harga
mahal.
Mengapa harus pakai perangsang? Bukankah dengan Ani aku bisa menaklukkannya
tanpa perangsang?
Aku adalah orang yang tidak memiliki bakat merayu. Arni, istriku, sering kali
menertawakan caraku merayunya yang menurutnya sangat garing dan jauh dari kesan
romantis. Jadi, kejadian antara aku dengan Ani bisa dianggap hanyalah sebuah
keberuntungan yang mungkin kebetulan. Secara fisik, aku adalah suami di antara
empat bersaudara ini yang paling dikatakan tidak menarik. Akulah yang paling
pendek dan paling gemuk di antara ketiga suami ipar-iparku. Warna kulitpun
akulah yang paling gelap. Ketika melihat foto keluarga di pernikahan Ima, aku
jadi minder sendiri. Untunglah Arni selalu memberiku semangat, meskipun
ipar-iparku selalu menjuluki kami The Beauty And The Beast, Si Cantik dan Si
Buruk Rupa. Sex appealku sangat rendah, meskipun sex ability ku termasuk
tinggi.
Kak Umi mengenakan mukena putih milik Arni sambil membelakangiku.
“Kang….Keluar dulu, donk.” Pintanya.
“Kenapa, emang?”
“Mau copot pakaian, soalnya tadi baju sama rokku kena pipisnya Arzaka”
jawabnya. Arzaka adalah anak ketiga mereka yang berumur dua tahun empat bulan.
“baiklah” aku mengalah. Aku keluar dari kamar sembari kak Umi berganti pakaian.
Pandanganku tertuju ke minuman di dalam botol yang ku siapkan, ternyata tinggal
kurang dari seperempat botol saja. Hehehehe, senyum kemenangan tergurat di
wajahku. Tidak lama lagi pertempuran yang sebenarnya akan di mulai.
“Kang, ayo” ujar kak Umi di balik kamar menyadarkanku dari lamunanku. Aku masuk
ke dalam kamar untuk beribadah dengannya. Tepat sebelum kami mulai, tatapanku
tertuju ke pakaiannya yang terlipat di sisi ranjang. Baju, rok, bh dan cd yang
disembunyikan dalam lipatan jilbab hitamnya tapi masih kelihatan sedikit. Aku
menegang. Artinya, Kak Umi tidak mengenakan apapun di balik mukenanya. Akhirnya
kami mendirikan ibadah kami dengan tenang, meskipun dadaku penuh gemuruh antara
girang, nafsu dan rasa tabu menjadi satu. Apalagi sayup-sayup terdengar helaan
nafas yang berat di belakangku. Aku yakin, pengaruh obat itu telah bekerja.
Obat perangsang, atau tepatnya pembangkit libido yang ku beli di pak Haryo,
yang katanya dia pesan di Jepang, tidak seperti minuman keras atau narkoba yang
dapat menghilangkan kesadaran penggunanya. Obat perangsang yang ku punyai ini
cara kerjanya adalah memberikan perangsang terhadap produksi hormone oxitosin
yang berlebih sehingga menyebabkan naiknya libido seksual penggunanya. Si
pengguna tetap sadar seperti biasa, hanya mungkin dia agak heran karena
gairahnya yang tiba-tiba membuncah tidak terkendali. Dan inilah yang mungkin di
alami oleh orang yang sekarang ikut beribadah di belakangku.
Selesai beribadah, dilanjutkan dengan berdoa sejenak. Setelah itu ku putar
posisi dudukku menghadap kak Umi untuk bersalaman, tetapi yang ku lihat
sekarang, kak Umi duduk bersila dengan tangannya menggenggam erat kedua
lututnya sambil berusaha mengatur nafas. Jelas sekali ia sedang berusaha
melawan gairah yang sedang melandanya.
“Kak Umi, kenapa? Sakit?” tanyaku sambil menjulurkan tanga dengan maksud
menyalaminya.
“Gak papa kok” jawabnya senormal mungkin menyalami tanganku. Tetapi begitu
selesai bersalaman, ku tundukkan wajahku dan mengecup punggung tangannya.
Cup…!
“Ohhhsssssshhh…….”
Ku angkat wajahku dan ku lihat kak Umi memejamkan matanya dan menggigit bibir
bawahnya. Ku kecup lagi tangannya, dan kali ini ku tambahkan gerakan menggigit
kecil.
Cuppp……!
“Ssshhhh…Aakkkhhhh……..”
Dia mendesah. Kali ini ku jilat-jilat ringan tangannya.
“Kaaangghhh…..kokkhhh jadi begini sihhhh…..” racaunya.
“Aku juga gak tau, kak….tiba-tiba aja nafsuku naik….” Balasku sambil menarik
tubuh kak Umi lalu membaringkannya di atas alas ibadah kami. Ku singkap
mukenanya dan tampaklah gugusan gunung kembar yang kenyal dan mungil. Sama
dengan milik si Ani, tidak tampak kalau dadanya ini telah menyusui tida anak,
ditambah suaminya, dan kini ditambah juga dengan aku. Ku tangkupkan kedua
tanganku di dadanya dan ku remas-remas perlahan.
“Kaanggghhh….jangaannnn gittuuuhhh……”
“Iyaaa kakk…..maaffffhhh…..” balasku yang tiak kalah bernafsu.
“Udahhh minta maaffhhh kok masih dilanjutinn…..Aaaahhhhhh….ennnaaakkkhhh……”
racaunya. Intensitas suaranya meninggi ketika jari-jariku memilin putingnya
yang semakin menegang. Sama dengan adik kecil di antara pahaku yang juga
semakin keras. Tubuh kak Umi menggelinjang entah untuk melawan atau menikmati.
Aku berbaring di samping kak Umi yang sedang berkejaran dengan nafasnya. Kami
saling tatap dengan dalam, meskipun aku tidak tau makna di balik tatapannya
yang tajam itu, tetapi kemudian dia dengan segera menarik wajahku hingga kami
tenggelam dalam ciuman panas dan basah. Permainan bibir dan liur kak Umi sangat
hebat, jauh lebih hebat dari Ani dan Arni. Dia masih belum menggunakan lidahnya
dalam lumatan bibir kami, tetapi sudah cukup membuat bibir dan sekelilingnya
basah.
“Hhmmmmppphhhhffffff…..Aaaammhhhpppphhh…..”
Sesekali bibirku digigit dan di sedotnya, lalu kemudian ia mulai memainkan
lidahnya. Lidah kami bertaut dan berpilin. Tanganku tidak tinggal diam, begitu
pula dengan tangannya. Selama kami sibuk bersilat lidah, tanganku membelai,
meremas dan memilin dadanya, sedankan tangannya sudah masuk ke dalam sarungku
dan membelai senjataku.
“Ssllrrrrrppphhhh…….Kaangghhhh……” racau kak Umi dalam aktifitas ciuman kami.
Kepalanya bergerak liar seliar lidahnya yang menyelusup ke dalam mulutku lalu
dikeluarkan untuk menjilati bibir, pipi dan hidungku. Wow. Kak Umi benar-benar
lepas kendali kali ini. Kadang ku cubit kecil putingnya dan dibalas Kak Umi
dengan menggigit bibir bwahku. Suasananya tiba-tiba menjadi sangat panas.
Tiba-tiba kak Umi mengakhiri sesi ciuman kami dan berdiri sembari mencopot
mukenanya, dan bugillah dia. Rambutnya yang panjang terurai serta dadanya yang
mungil tetapi sedikit lebih besar dari punya Ani dan Arni. Aku tidak pernah tau
dan mengerti ukuran dada wanita seperti kebanyakan cerita yang biasa ku baca di
forum ini. Yang ku tau, dada ini harus ku kelola dengan baik agar dapat
memberikan hasil kenikmatan maksimal. Dengan buru-buru dan nafas berat, kak Umi
melepas sarungku hingga senjataku mengacung dengan gagah. Yah, standar lah.
Sekali lagi, kawan. Ukuran senjata bukanlah penentu utama kenikmatan bercinta, tetapi kerasnya dan kreatifitas pemiliknya dalam memainkan senjatanya.
“Sshhhhh…..besarrrr……Kaanggghhhhh……”
Eh? Senjataku di bilang besar? Rupanya ada kasus baru. Milik papanya Liza
rupanya lebih kecil dari milikku. Kak Umi langsung berjongkok dan mengocok
punyaku dengan gemas.
“Kaanggghhhh…..kokkkk….akuuhhh jadii begini sihhhhh……..”
“Aku juga bingung, Kak. Aduh….pelan-pelan dong”
“Kerassss bangett, Kangghhhh…..akuhhhh udahhhh basahhh bangettthhhh…..”
Ku lihat kangkangan pahanya dan benar saja. Ada rembesan kental yang terus
merembes melalui pahanya. Rupanya obat itu sangat luar biasa. Kak Umi lalu
merebahkan senjataku hingga senjata itu berbaring di perutku lalu dia
menempelkan celahnya di atas batangku. Rasanya antara hangat, dingin, basah dan
licin. Jadilah kini aku ditungganginya. Perlahan kak Umi menggerakkan
pantantnya maju mundur.
“Ssshhhhhhh…..Iiiihhhhhh…..Kaaaanggghhhhh…….”
“Ohhhhhhh…….”
“Kkaaannggghhhhh…….Uhhhhh…..Sshhhhhhhhhh…….Kaaanggghhhhhhh………”
Gerakan maju umndur kak Umi semakin lama semakin cepat seiring racau bibirnya.
Tangannya kini ditumpukan di dadaku dan tanganku sibuk memetik putting buah
dadanya. Rupanya ini mempengaruhi gerakannya hingga menjadi tidak teratur dan
kemudian kak Umi meraih orgasme pertamanya.
“Aaaaaawwwhhhhh…..Kaaaaanggggghhhhhhhh…….Hoooooohhhhsssss…..”
Tubuh kak Umi mengejang-kejang kelojotan di atasku. Senjataku basah kuyup oleh
campuran cairan bening dan cairan putih kental. Meskipun penisku ngilu karena
sedang tegang lalu dipaksa berbaring, tetapi ada rasa puas melihat tubuh yang
sedang menunggangiku terkejang-kejang seperti tersengat listrik, hingga
akhirnya kak Umi ambruk di atas dadaku. Ku piker, kalau rangsangannya sehebat
ini, pasti bisa ku bikin squirt.
Tidak ku biarkan di istirahat. Ku rebahkan di sampingku lalu aku merengsek
menuju selangkangannya. Kak Umi pasrah menanti rencanaku selanjutnya. Ku buka
pahanya dan tampaklah rahasia terdalam tubuh seorang wanita di hadapanku.
Vagina yang ranum agak merah kehitaman dengan bulu tipis yang rapi. Lendir yang
terus merembes menambah eksotiknya pemandangan di hadapanku. Perlahan ku belai
celahnya dengan dua jariku. Kak Umi tersentak ketika jariku menyentuh celahnya.
“Kaaangghhhhh…. Jangannhhhh….Akuhhh malu kalau pakaihhhh tanganhhh……”
Ah masa bodoh. Permintaan ditolak. Justru kini dua jariku masuk dan mulai mengocoknya.
“Kaaangggghhhhhh……Kaaanggghhhh…….Owwwhhhhhhh….Kaaanggghhhh…..”
Kak Umi meracau terus-menerus memanggil namaku. Mungkin ini bedanya dengan Ani.
Setiap bercinta dengan Ani, dia selalu memakiku dan membenciku sembari
menikmati sajianku. Sedangkan kak Umi sering-sering memanggil namaku di sela
rintihan rangsangannya.
Clok..clok...clok
Bunyi becek yang ditimbulkan jariku dan liangnya terdengar sangat merdu dan
semakin membangkitkan syahwat. Pantat lawan mainku ini terangkat kadang
disertai gerakan memutar dan aku semakin gemas untuk mengocoknya lebih keras
dan cepat.
“Kaanggghhhh….Ihhhhh….Kaaanggghhhh……Owwwhhhh……”
Rintihannya sangat merdu dan manja, tetapi tidak akan membuatku memembutkan
perlakuanku. Targetnya adalah squirt sebagaimana adiknya. Ku dekatkan mulutku
di celahnya sembari tangan kiriku tetap mengocoknya dengan cepat dan tangan
kananku merayap ke atas dadanya. Biji klitoris yang mengitip di balik lipatan
labianya kini menjadi santapan bibi, lidah dan gigiku.
“Aaaakkkhhhhhh…..Kaaanggghhhhh………Owwwhhhhhhhhh…..Kaaangggghhhhh…..”
Serrrrr…….
Baru saja lidahku menjilati klitorisnya, kak Umi orgasme dengan squirt yang
banyak. Lebih banyak dari ketika main pertama kali dengan Ani. Semburannya
membasahi lengan kiriku, tetapi kembali aku tidak mengendurkan kocokan
tanganku. Targetku adalah squirt kedua dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Clok…clok…clok…
Kecipak liang vagina yang memerah basah, jariku yang nakal dan cairannya yang
banyak memenuhi seluruh ruang kosong dalam kamar ini. Setahuku dalam persoalan
bercinta, wanita yang berhasil mengalami squirting, pasti akan kembali
mengalaminya dalam jarak tempo yang tidak sampai lima menit. Dan dugaanku
benar.
“Aakkkkhhhhhh….Kaaannggghhhhhhhh…..”
Serrrrrrr……..
Kak Umi mengangkat pantatnya dan menyemburlah kembali cairan orgasmenya. Kali
ini membasahi dadaku sampai di perut.
“Oohhhh….Kaangggghhhhh….Kammuhhhh nakalllhhh….”
“Kakak juga liar…gak nyangka deh…..”
Aku lalu memposisikan senjataku di celahnya. Man on top siap dilakukan.
“Yang pelanhhh Kanggghhhh……punyamu besarrrr bangettthhhh…..”
Aku tersenyum geli. Ukuran standar begini tapi dibilang kak Umi gede.
Pertanyaannya adalah seberapa kecilkah milik papanya Liza? Ah, masa bodoh.
Tugas ku sekarang adalah mendorong rudal yang telah menempel di mulut goanya.
Ku tekan tahan nafasku dan mulai mendorongnya masuk.
“aaawwhhhhh Kaanggghhhh……Penuhhhhh bangettttt….Aaaakkhhhh…..”
Gila!
Kak Umi orgasme lagi padahal barangku baru saja masuk dan belum bekerja seperti
biasa. Hanya beradaptasi dengan liang yang sepertinya lebih sempit dari punya
Ani. Kedutannya, remasannya, hangatnya begitu sangat memabukkan. Ku perhatikan
celah pertemuan alat senggama kami, kembali cairan putih kental merembes keluar
dengan pelan. Ah, sudahlah. Saatnya beraksi.
“Oookhhhhhh…Kaaanggghhhh….Kaanggghhhh…..”
Racau dan rintihan kakak iparku ini mengiringi aktivitasku menggoyangkan
senjataku maju dan mundur di dalam liangnya. Awalnya aku hanya menggerakkannya
dengan pelan, tetapi rupanya ada pihak yang tidak puas dengan cara ini.
“Yangghhh cepeethhh Kaanggghhh…….gateeellllhhhh nihhhhh….ooohhhhhh”
“Gak mau. Aku maunya pelan aja……”
Rupanya kak Umi menggila. Dijambaknya rambutku dan dengan mata yang melotot
kepadaku, dia berbicara pelan dengan suara yang menggeram gemas.
“Yang Cepeetttt, begoooo……”
Wow! Rupanya setan telah menemukan istananya malam ini. Kakak iparku yang
paling manja kini dikalahkan nafsunya dan mulai beringas. Aku sendiri hampir
tidak percaya dengan apa yang aku alami, tetapi inilah adanya, dan saatnya
mewujudkan keinginannya. Ku rebahkan tubuhku di atas ubuhnya. Aku bersandar
dengan kedua sikuku dan kak Umi memelukku erat. Kedua kakinya dibuka lebar dan
diluruskan. Ini dia!
“Aaaakkhhhh…..Kanghh…Kanghh…Kanghh….Ooohhhhh….”
Plok..Plok..Plok
Ku ayunkan pantatku sekuat tenaga dengan gerakan cepat 1:1. Ku atur nafasku
dengan memusatkan pernafasan perut lalu ku tekan otot kegelku. Saatnya
menggunakan Tai Chi dan Yoga pada fungsi yang lain. Ku pusatkan konsentrasi
pada konsistensi dan kecepatan sodokanku di liangnya yang semakin panas dan
becek itu. Entah dengan tulisan apa lagi ku gambarkan jeritan kak Umi dalam
menerima seranganku, tetapi yang pasti, hanya sekian menit saja, kak umi
kembali menjerit bersmaan dengan semburan yang membasahi paha dan perut bagian
bawahku.
Pola 1:1 adalah istilahku untuk satu kali cepat satu kali lambat, atau satu kali keras satu kali lembut
“Uuuuukkkhhhhhh…..Ssshhhhh….Kaaaanggghhhhh…..”
Serrrrr……
Secepat mungkin ku masukkan lagi senjtaku dan kembali memompanya dengan cepat.
Lantai kamarku kini seperti tergenang. Lebih tepatnya seperti ketika ada botol
air mineral ukuran 1,5 liter tumpah. Mungkin seperti itulah, tubuh kak Umi di
bawahku sudah seperti tergenang meskipun tidak seperti itu. Kak Umi terus
menjerit dan merancau menerima perlakuanku, hingga kemudian sekitar empat
sampai lima menit kemudian kak Umi kembali orgasme.
“Jiyaaahhhhhh…..Ohhhh…..”
Serrrrrr…..
Kali ini tidak ku cabut senjataku. Ku diamkan di dalam liang senggamanya
sembari merasakan rembesan yang hangat dan licin dari dalam sana. Bentuk kak
Umi sudah acak-acakan. Rambutnya basah oleh keringat dan cairannya sendiri.
Kami terdiam dan berpelukan.
“Bagaimana, Kak….?” Tanyaku setelah nafas kembali normal.
“Uhhhh….” Kak Umi hanya menjawab seperti itu lalu mencari bibirku. Kembali kami
larut dalam ciuman yang panas dan basah. Lidah saling memilin dan bersilat
dengan liarnya hingga kemudian kami melepaskan ciuman kami. Ku cabut batangku
dan ku tunggingkan kak Umi. Doggy style adalah posisi andalanku bila aku sudah
ingin menyudahi permainan karena dengan posisi inilah pertahananku paling
gampang jebol. Teknik pernafasanku agak tidak berlaku di sini. Entah kenapa.
Permainan ini sudah harus diakhiri karena kak Umi belum selesai ngeprint
padahal kami harus segera ke rumah tante Has. Ah, sayang sekali kesempatannya
sempit. Tetapi biarlah, toh kak Umi telah kudapatkan.
“Sssshhhhhhhh…….”
Kak Umi hanya mendesah lemas ketika dengan perlahan penisku menyelinap masuk
dari belakangnya. Tak perlu menunggu lama untuk beradaptasi, langsung ku goyang
pinggulku dengan irama agak cepat menggunakan pola 2:3.
Pola 2:3 adalah istilahku sendiri untuk gerakan 2 kali menyodok lalu disambung 3 kali gerakan memutar.
“Akhhh….Akhhh….Kaanggghhh….Kangghhhh……”
“Kaakkkkhhh…..”
“Kaangghh….Uhhhh……”
Ku cepatkan sodokanku dalam racau dan rintih kak Umi. Ku tegakkan tubuhnya dan
ku remas dadanya dari belakang. Sontak gerakan kak Umi menjadi liar dan tidak
teratur.
“Iiiiihhhhh…Kaangghhhhh….Dappetthhh Lagihhhhh……”
Serrrrrr…….
Tubuh kak Umi ambruk ke depan hingga pertautan kelamin kami terlepas. Kini
posisinya seperti orang yang bersujud dan tak perlu menunggu lama, langsug ku
jebloskan senjataku ke dalamnya.
“Aawwwhhhhhh……”
Tinggal lenguhan pelan yang pasrah dan tak bertenaga. Ku rebahkan kak Umi tengkurap
dibawahku dan mulai ku gerakkan pantatku dengan cepat.
“Ahhh….Ahhh…Ahhhh….Aaawwwwhhhhhh….Ammpunhhhh Kaanggghhhh…..”
“Gakhhhh Pakee Ampunnhhhh…..”
“Kaaaannggghhhhhhh…..”
Plok..Plok….Plok…..
Kini kurasakan orgasmeku semakin mendekat. Posisi ini memang adalah
kelemahanku, entah mengapa. Setiap persenggamaanku baik dengan Arni, Ani dan
kini dengan Kak Umi, posisi inilah yang kupilih sebagai menu penutup.
“Kakhhh…..Di keluarin di mana?”
“Dihhh luarrrhhh ajahhhh….Oooowwwhhhh…..dappetthh lagiiii…..”
Kak Umi orgasme lagi di saat aku juga sudah hampir meledak. Aku menggeram dan
mempercepat gerakanku. Ku remas pantat kak Umi dengan keras.
“Kaaaakkk….Udah mau nyampee….”
“Iyaaahhhhh…Oooohhhhh…..”
“Akhhhhh……”
Orgasme yang sempurna. Ku cabut dengan cepat batangku dan kutembakkan peluruku
entah berapa kali semprotan. Begitu derasnya hingga semprotan pertama mengenai
rambutnya jauh di depan sana. Selebihnya membasahi bongkahan pantatnya.
“Owwhhhh……”
Ku masukkan lagi senjataku yang telah bersih ke dalam liangnya lalu berbaring
dibelakang kak Umi yang berbaring menyamping. Untuk sesaat kami terdiam dalam
pikiran kami masing-masing. Ku peluk kak Umi dari belakang. Rasa kedutan dan
remasan kelaminnya sangat terasa.
“Kak…..Aku minta maaf, gak tau kenapa kok bisa jadi seperti ini” ujarku memulai
pembicaraan setelah beberapa saat kami terdiam. Kak Umi terdiam entah apa dalam
pikirannya.
“Iyaahhhh…..AKu juga bingung, kok tiba-tiba nafsuku naik begitu saja, Kang”
Ku eratkan pelukanku. Hanya ku jawab dalam hati, itu karena obat perangsang
yang ku teteskan di minumanmu, Kak. Tapi hanya dalam hati.
“Kang….”
“Iya, Kak…..”
“Makasih, ya…..”
“Kok Makasih?”
“Iya. Kamu udah ngasih pengalaman baru”
“Maksud kakak?”
“Aku udah merasa kotor banget selingkuhin papanya Liza” Kata Kak Umi lalu dia
terdiam. “Tapi permainan sama kamu benar-benar aneh dan aku gak nyangka bisa
ngelakuin itu”
“Aneh gimana, Kak?”
“Barang kamu ini lebih besar dari punyanya. Trus, aku sampai orgasme banyak
banget. Aku gak tau ternyata aku bisa kaya gini”
“Heheh…makasih pujiannya, Kak. Emang papanya Liza gimana cara mainnya?”
Kak Umi menghela nafas.
“Ya sama kaya gini, cuman skornya satu sama atau satu kosong. Aku biasa gak
nyampe. Hhhfffff….Aku jadi merasa kaya’ bintang porno,Kang”
“Ah….Kakak. Eh, ngeprint nya gimana, Nih? Kita mau ke rumah tante Has, Lho.
Mana nih kamar becek banget lagi” kataku.
Kak Umi mencubit lenganku dengan mesra dan manja.
“Kak….”
“Ya?”
“Ku cabut, ya?”
“Iya…..pelan-pelan tapi, ya?”
“Iya”
Plop
“Awwhhh….ngilu, Kang”
“Hehehe…..Mandi, yuk? Mau bareng?”
Kak Umi mengangguk dan tersenyum. Ku angkat tubuhnya ke kamar mandi. Tidak ada
yang special ketika acara mandi bersama, karena waktu yang sudah menunjukkan
pukul 20.12 waktu itu. Kami harus segera membersihkan sisa-sisa dosa kami, dan
menuju ke rumah tante Has. Biarlah keperluan kak Umi buat ngeprint ku kerja
nanti malam saja, toh dia sudah memberikan FD yang berisi laporan yang harus di
print.
Kami tengah bersiap ke rumah tante Has dengan motorku ketika ponselku pergetar.
Drrrtttt…..
Notifikasi yang ternyata dari orang yang membonceng di belakangku. Ku buka WA
nya dan di sana tertulis,
Kang, Ini yang pertama dan terakhir ya?
No comments:
Post a Comment